Perang ekonomi kembali menjadi sorotan dunia ketika para pengamat internasional melihat persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok semakin menyerupai rivalitas klasik antara Inggris dan Jerman pada abad ke-19. Bagi banyak kalangan, sejarah lama itu menjadi cermin untuk memahami arah kompetisi global saat ini.
Dalam artikel terbaru yang diterbitkan The Washington Quarterly, tiga akademisi dari Princeton, Markus Brunnermeier, Harold James, dan Rush Doshi, menggarisbawahi kesamaan pola persaingan tersebut. Mereka menilai bahwa perang ekonomi bukan sekadar tentang tarif, tetapi tentang bagaimana kekuatan besar menggunakan instrumen finansial, standar teknologi, hingga infrastruktur untuk memperluas pengaruh.
Pada abad ke-19, Inggris sebagai kekuatan dominan dunia harus menghadapi kebangkitan Jerman yang muncul dengan model ekonomi berbeda. Inggris mengandalkan sistem pasar bebas yang liberal, sedangkan Jerman menempuh jalur proteksi negara dengan dukungan penuh terhadap industri strategisnya.
Situasi ini kini seolah terulang dalam rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok. Washington mempertahankan citra sebagai pelindung pasar bebas, sementara Beijing dianggap membangun kemajuan dengan proteksi ketat, investasi negara, dan adopsi teknologi dari luar. Perbedaan inilah yang memicu tuduhan “curang” dari pihak yang sudah mapan terhadap kekuatan baru yang menanjak.
Brunnermeier, James, dan Doshi menilai bahwa alat paling kasar dalam perang ekonomi adalah tarif. Meski sering digunakan untuk menunjukkan ketegasan, tarif justru terbukti kurang efektif dalam menghentikan kebangkitan kekuatan baru. Sejarah membuktikan, tarif Inggris gagal membendung laju industri Jerman.
Hal serupa, menurut mereka, bisa terjadi jika Amerika terlalu bergantung pada tarif untuk menghadapi Tiongkok. Alih-alih melemahkan Beijing, kebijakan itu justru berisiko menyulitkan sekutu-sekutu Amerika sendiri, seperti yang pernah dialami Inggris ketika menekan Prancis lewat kebijakan tarif pada 1932.
Oleh sebab itu, strategi yang lebih cerdas adalah menggunakan instrumen lain dalam perang ekonomi. Standarisasi teknologi dan pembangunan infrastruktur internasional bisa menjadi alat penting untuk menjaga dominasi. Dalam hal ini, Amerika didorong untuk menghidupkan kembali perjanjian multilateral seperti Trans-Pacific Partnership (TPP).
TPP dinilai memberi kesempatan besar bagi Amerika untuk menetapkan standar ekonomi dan teknologi global yang mengikat banyak negara. Dengan begitu, Washington tidak hanya bersaing langsung dengan Beijing, tetapi juga memperluas pengaruhnya melalui aturan main internasional.
Selain itu, perlindungan terhadap teknologi dari pencurian atau alih paksa juga menjadi fokus utama. Penulis artikel menekankan pentingnya Amerika meningkatkan pengawasan, sambil memperkuat investasi dalam riset dan pendidikan tinggi untuk menjaga supremasi teknologi jangka panjang.
Pada sisi finansial, Amerika juga diingatkan agar berhati-hati dalam menggunakan senjata sanksi. Sanksi yang terlalu luas justru bisa melemahkan ekonomi sekutu sendiri. Pengalaman Inggris di masa lalu menjadi pelajaran berharga bahwa kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi bisa berbalik merugikan.
Persaingan ekonomi besar memang tak terhindarkan ketika ada kekuatan baru yang merasa tidak puas dengan status quo. Jerman pada abad ke-19 ingin mendapat ruang lebih besar di dunia, sama seperti Tiongkok saat ini yang menuntut pengakuan atas posisinya sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia.
Bagi Amerika, pilihan kebijakan tidak bisa hanya bersifat defensif. Strategi menyerang dengan tarif dan sanksi tanpa kerangka global akan terbukti tidak cukup. Seperti halnya Inggris, mereka bisa saja mendapati lawannya tetap tumbuh meski berbagai hambatan dipasang.
Justru kerja sama dengan sekutu dan pembentukan aliansi ekonomi menjadi kunci keberhasilan. Amerika perlu mengintegrasikan Eropa, Asia, dan negara-negara berkembang ke dalam sistem ekonomi yang berbasis standar terbuka.
Dengan pendekatan ini, perang ekonomi bukan hanya tentang siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetapi tentang siapa yang mampu membentuk aturan main global. Dalam kompetisi semacam itu, legitimasi internasional menjadi aset yang sama pentingnya dengan kekuatan finansial.
Rivalitas Inggris dan Jerman memberi pelajaran bahwa modernisasi dan industrialisasi tidak bisa sepenuhnya dicegah oleh kekuatan lama. Yang bisa dilakukan adalah menata ulang strategi agar tetap relevan dalam sistem ekonomi dunia yang berubah.
Kini, dunia menunggu bagaimana Amerika merespons tantangan besar ini. Apakah akan mengulang kesalahan Inggris dengan mengandalkan tarif, atau justru belajar dari sejarah untuk menyusun strategi lebih cerdas.
Di tengah ketidakpastian global, satu hal yang jelas: perang ekonomi bukan sekadar tentang angka perdagangan, tetapi tentang perebutan masa depan teknologi, standar global, dan arah geopolitik dunia.
Jika sejarah benar-benar berulang, maka kebangkitan Tiongkok bisa jadi sama tak terhentikannya seperti Jerman dulu. Pertanyaannya hanya, apakah Amerika akan memilih jalan konfrontasi yang merugikan semua pihak, atau strategi kolaborasi yang tetap menjaga posisinya di puncak.
Blogger Comment
Facebook Comment